POST-MODERNISME
/ POST-STRUKTURALISME
Berikut ini adalah review mengenai teori post-modernisme / post-strukturalisme dalam Ilmu Hubungan Internasional. Dua buku yang saya gunakan sebagai sumber adalah Theories of International Relations Third Edition, Chapter 7 : Post-modernism oleh Richard Devetak dan A World of Polities Essays in Global
Politics, Part II Chapter 3 : Reconstructing Theory in Global Politics, Beyond
The Postmodern Challenge oleh Yale H. Ferguson,
Richard W. Mansbach. Entri ini merupakan tulisan saya yang dibuat sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah Teori Hubungan Internasional. Semoga entri ini bisa membantu teman-teman yang ingin lebih memahami dan mendalami mengenai teori post-modernisme / post-strukturalisme, terutama bagi mahasiswa/i Hubungan Internasional. Just read it and give your feedback! :)
REVIEW
Buku : Theories of International Relations Third
Edition ( Chapter 7 : Postmodernism )
Penulis : Richard Devetak
Menurut penulis buku ini, post-modernisme
termasuk salah satu teori yang paling kontroversial dalam ilmu humaniora dan
ilmu sosial. Klaim utama dari teori postmodernisme adalah bahwa pengetahuan
berkaitan erat dengan politik dan kekuasaan. Post-modernisme memiliki nama
lain, yaitu post-strukuralisme dan dekonstruktivisme. Dalam buku ini,
diperkenalkan pemikiran dari para post-modernis terkenal yang memiliki pengaruh
cukup besar terhadap perkembangan post-modernisme itu sendiri, seperti
Foucault, Derrida, Ashley, dll.
Penulis membagi pembahasan pada
bab ini menjadi empat bagian, yaitu pemaparan hubungan antara kekuasaan dengan ilmu
pengetahuan dalam studi Hubungan Internasional, intertekstualitas dalam studi
Hubungan Internasional, bagaimana relasi antara post-modernisme dengan negara,
dan bagaimana post-modernisme mencoba untuk menafsirkan kembali fenomena politik
yang ada.
a)
Hubungan antara kekuasaan dengan
ilmu pengetahuan
Salah satu pemikiran tokoh yang
paling berpengaruh dalam pemikiran post-modernisme adalah pemikiran Michel
Foucault. Foucault mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dan kekuasaan saling
mempengaruhi dan keduanya saling menguatkan satu sama lain.
Salah satu pembahasan yang menjadi
inti post-modernisme adalah genealogi. Pengertian genealogi menurut Devetak
merupakan sebuah gaya pemikiran historis yang mengungkap signifikansi hubungan
antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan dan otoritas. Jadi, genealogi merupakan
sebuah cara untuk mempelajari mengeni asal-usul (sejarah) sesuatu, dalam hal
ini berkaitan dengan perkembangan pemikiran dalam studi Hubungan Internasional.
Genealogi di sini dapat diartikan secara kontekstual, karena nilai-nilai
sejarah berperan dalam mengkonstruksi pemikiran penulis yang kemudian dapat
berdampak pada hasil tulisannya. Contoh kasus yang diambil oleh Devetak dalam
menjelaskan genealogi adalah perdebatan mengenai penyebab kasus 11 September
(pemboman Menara WTC).
Devetak
menyebutkan bahwa post-modernisme menghasilkan sebuah wawasan penting, yaitu fokusnya
mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan serta pendekatan
genealogisnya, di mana permasalahan-permasalahan dalam studi Hubungan
Internasional bukan hanya mengenai permasalahan epistimologis dan ontologis
saja, tetapi juga mengenai kekuasaan dan otoritas yang berusaha berjuang untuk
menentukan interpretasi terhadap hubungan internasional itu sendiri.
b)
Intertekstualitas dalam hubungan
internasional
Tekstualitas merupakan tema umum
dari post-modernisme. Derrida berpendapat bahwa yang dinamakan ‘teks’ itu sebenarnya
bukan hanya literatur ataupun ide yang riil, namun sebenarnya dunia ini pun
‘teks’ yang fenomena-fenomenanya dapat dipahami dan ditelaah lebih lanjut. Pembahasan
ini menjadi begitu esensial karena hubungan internasional dapat
didekonstruksikan, dipahami, dan dibaca secara ganda (double reading) karena adanya interkontekstualitas dalam hubungan
internasional. Dekonstruksi menunjukkan bahwa suatu teori ataupun pemikiran
yang ada saat ini dipengaruhi oleh teori atau pemikiran yang telah ada
sebelumnya. Pembacaan ganda mencoba memahami suatu masalah dengan dua kali
interpretasi, yakni bukan hanya dengan melihat bagaimana suatu pemikiran
ataupun konstruksi sosial itu dibangun, tetapi juga melihat hal apa saja yang
belum selesai dilakukan sebelumnya. Konsepsi Derrida ini kemudian banyak
dikenal dan dipakai sebagai rujukan oleh para post-modernis ketika menginterpretasikan
sesuatu. Konsep lainnya yang juga banyak digunakan oleh para post-modernis
adalah anarchy problematique yang
dikemukakan oleh Richard Ashley. Anarchy
problematique bertujuan untuk mempertegas pertentangan antara anarki dan
kedaulatan secara lebih eksklusif dan lebih mendalam.
c)
Problematisasi negara yang berdaulat
Negara, kedaulatan dan kekerasan
adalah pembahasan yang tak pernah berhenti dibahas dalam studi Hubungan
Internasional. Hal tersebut juga merupakan tema sentral dalam pendekatan
post-modern dalam studi Hubungan Internasional. Pada bagian ini diperkenalkan
apa yang disebut sebagai quasi-phenomonology.
Quasi-phenomonology mengandung 4
unsur, yaitu kekerasan, batas negara, identitas politik. Post-modernisme
mengemukakan bahwa ada kaitannya antara negara dengan penggunaan kekerasan,
bahkan di negara yang liberalis sekalipun. Artinya, kekerasan dapat digunakan
untuk membentuk kekuatan politik di suatu negara. Post-modernisme juga menganggap
bahwa kondisi dunia sebenarnya adalah borderless,
dalam artian batas-batas yang saat ini ada bukanlah sesuatu yang alamiah,
melainkan hasil dari proses sejarah yang panjang. Mengenai identitas politik,
post-modernisme mengemukakan bahwa adanya hubungan antara kekerasan dan
pembentukan identitas politik. Identitas politik (nasionalisme) bisa terbentuk
dari kekerasan yang terjadi dalam perang. Post-modernisme juga mencoba
memproblematisasi mengenai state-centrism
(apa saja aspek yang tidak bisa dijelaskan oleh state-centrism). Post-modernisme juga mempertanyakan mengenai arti
dari kedaulatan negara itu sendiri.
d)
Penafsiran kembali fenomena
politik yang ada
Penulis mengemukakan bahwa
post-modernisme berusaha membangun kembali sebuah penafsiran atas kondisi politik
dunia saat ini. Dalam pembahasan ini, disinggung juga mengenai pengaruh
globalisasi terhadap dinamika politik yang terjadi. Bahwa globalisasi membuat
akses informasi semakin mudah, sehingga dampak dari dinamika politik yang
terjadi bukan hanya dirasakan oleh negara yang bersangkutan, melainkan juga
oleh negara-negara lainnya di dunia. Dalam post-modernisme terdapat etika
tersendiri dalam merefleksikan hubungan internasional. Etika tersebut adalah
menantang deskripsi ontologis bagaimana sebuah argumen itu dibangun, dan
memfokuskan hubungan antara dasar ontologis dengan argumen-argumen yang layak.
Konsekuensi yang harus dihadapi jika menggunakan pemikiran post-modernisme
adalah bahwa konsep-konsep politik seperti komunitas, identitas, etika, dan
demokrasi akan ditafsirkan kembali untuk menjawa pertanyaan-pertanyaan mengenai
kedaulatan dan teritorial. Jadi, post-modernisme hanya berusaha menafsirkan
kembali fenomena-fenomena politik yang ada tanpa menawarkan solusi yang konkrit
untuk penyelesaiannya. Post-modernisme menyerahkan penyelesaiannya pada kajian
ontologis dan epistimologis yang dilakukan oleh para pemikir (para peneliti).
Buku : A World of Polities Essays in Global
Politics ( Part II, Chapter 3 : Reconstructing Theory in Global Politics, Beyond
The Postmodern Challenge )
Penulis : Yale H. Ferguson,
Richard W. Mansbach
Dalam menjelaskan
post-modernisme, buku kedua ini memulai dengan sejarah mengenai pra-modernitas,
modernisme, dan post-modernisme. Menurut penulis buku ini, post-modernisme bukan
lah sebuah teori yang tujuannya untuk merekonstruksi entitas intelektual demi
menentang ambisi-ambisi tertentu. Maksudnya, post-modernisme bukanlah suatu
teori yang dihadirkan untuk membantah suatu teori tertentu, melainkan hanya
sebagai suatu pemikiran yang mencoba menafsirkan kembali apa-apa saja yang
telah terjadi dalam studi Hubungan Internasional dari sudut pandang tertentu
demi menghindari ambiguitas atau salah penafsiran.
a)
Pra-modernisme, modernisme, dan
post-modernisme
Pada dasarnya, bagian ini
sebagian besar menjelaskan mengenai sejarah terbentuknya post-modernisme, mulai
dari era pra-modernisme, era modernisme, hingga lahirnya post-modernisme itu
sendiri yang akhirnya berkembang hingga saat ini. Pra-modernisme adalah keadaan
saat primordialisme mangakar begitu kuat di kalangan masyaraat dunia. Pada era
pra-modernisme terkenal istilah ‘tribalisme’ dan terjadi tumpang tindih
identitas politik.
Post-modernisme tidak akan ada
tanpa adanya modernisme. Ada ambiguitas tersendiri mengenai makna dari modernisme,
yaitu penggunaan kata modernisme dan modernitas. Pada dasarnya keduanya sama,
yaitu proses dimana terjadi perubahan yang membawa menuju sesuatu yang lebih
modern, baik secara politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. Modernisme inilah
yang kemudian memicu munculnya post-modernisme yang secara harfiah berarti
“setelah modernisme”.
Post-modernisme datang untuk
memperbaharui pemikiran mengenai state-centrism
yang dinilai masih banyak memiliki kekurangan. Menurut penulis buku ini,
‘ambivalensi modernitas’ yang dikemukakan oleh Kumar, post-modernisme, dan dan
pra-modernisme merupakan hal yang mutlak harus diterima. Sebab ketiganya
merupakan era yang pasti terjadi dan tak bisa dihindari dari sejarah. Penulis
buku ini juga sedikit menyinggung mengenai teori kritis, konstruktivisme, dan
feminisme yang juga merupakan bagian dari teori post-positivis.
Penulis juga membahas mengenai
pemikiran beberapa tokoh mengenai kedaulatan negara. Post-modernis yang
dimaksudkan penulis di sini adalah mencoba membangun kembali gagasan yang telah
ada sebelumnya, mereproduksi, merekonstruksi, dan mendekonstruksi konsep negara dan kedaulatan. Fokus lainnya
dari post-modernisme adalah subjek identitas, yakni bahwa identitas politik
modern tersebar berdasarkan keberagaman tempat, kondisi tersebut terkadang
dibarengi dengan pengalaman post-modern (bagaimana identitas politik itu
dibentuk dan kemudian hidup untuk beberapa abad kemudian).
b)
Merekonstruksi teori dalam
politik global
Dalam buku ini, penulis
mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah bersifat bernilai bebas.
Penulis mengemukakan bahwa baik positivisme maupun relativisme ekstrim,
keduanya tidak mampu meyakinkan penulis akan pemahamannya mengenai kondisi politik
yang ada pada saat itu, sehingga akhirnya penulis mengalami kebingungan akan
kebenaran dari kedua teori tersebut. Meskipun mungkin tidak ada yang disebut
sebagai ‘kebenaran absolut’, namun sering terdapat intersubjective consensus untuk membanguan sebuah dialog yang
berguna untuk menemukan kebenaran itu sendiri, hingga akhirnya muncul pemahaman
dan pengetahuan akan hal tersebut.
Suatu teori haruslah memiliki
pembuktian kebenaran empiris secara alami, sedangkan post-modernisme bukan
secara alami, melainkan pengkajian kembali teori-teori terdahulu dan masih
harus dibuktikan secara empiris. Oleh karena itu, post-modernisme ‘menolak’
jika dikatakan sebagai sebuah teori. Post-modernisme lagi-lagi menekankan bahwa
subjek sebenarnya adalah politik dan juga menekankan mengenai pentingnya
pembentukan identitas politik.
Tantangan bagi post-modernisme
adalah bahwa para teoris mungkin saja tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan
yang meliputi suatu fenomena politik, sebab post-modernisme hanya berusaha
mengkaji ulang tanpa membantah ataupun menyempurnakan teori-teori yang pernah
ada sebelumnya dan menyerahkan penyelesaian pencarian kebenaran pada para
pemikir post-modernis.
ANALISIS
Post-modernisme merupakan sebuah
pemikiran yang unik, di mana post-modernisme berusaha untuk mengkaji kembali
apa-apa saja yang dinilai kurang dari teori-teori yang ada sebelumnya, namun
tidak memberikan solusi yang konkret untuk penyelesaian pencarian kebenarannya.
Post-modernisme juga telah memberikan warna baru bagi pemikiran yang berkembang
dalam studi Hubungan Internasional.
Dalam kedua buku yang saya
review, terdapat kesamaan pendapat mengenai post-modernisme, yaitu :
a.
Penekanan
mengenai konsep kedaulatan, negara, dan segala entitas politik lainnya.
Yakni bahwa kedaulatan sebenarnya
merupakan konsep yang relatif, dan batas teritorial merupakan sesuatu yang
abstrak dan dihasilkan dari proses sejarah yang amat panjang. Bukan Tuhan yang
menentukan batas-batas negara dan entitas politik lainnya, melainkan manusia
yang berperan.
b.
Penekanan
penafsiran kembali fenomena politik yang terjadi pada saat itu.
Adalah bahwa post-modernisme
berusaha untuk mencoba menafsirkan kembali fenomena politik yang ada
berdasarkan sudut pandang tersendiri, dan tidak berusaha menawarkan solusi
apapun (hanya berusaha mengkaji untuk mengetahui kekurangan dan kelemahannya).
c.
Kedua
penulis dari buku ini menggunakan perspektif pemikiran Barat dalam menjelaskan
poin-poin mengenai post-modernisme.
Sedangkan beberapa poin perbedaan
yang saya temukan dari kedua buku tersebut dalam menjelaskan post-modernisme
adalah :
a.
Pada
buku pertama pembahasan mengenai post-modernisme itu sendiri dibahas secara
lebih lengkap dan mendalam, sedangkan pada buku kedua hanya dibahas dari
sejarah terbentuknya post-modernisme, bukan mengenai perkembangan pemikirannya.
b. Pada
buku pertama banyak dikemukakan pendapat dari para tokoh post-modernis yang
disertai dengan contoh kasus yang relevan, sedangkan pada buku kedua contoh
kasus terbilang sangat sedikit dan lebih banyak membandingkan pemikiran penulis
dengan teoris yang mengemukakan pendapat tersebut daripada membahas mengenai
penikiran dari teoris itu sendiri.
c. Pada
buku pertama dijelaskan mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dengan
kekuasaan, sedangkan pada buku kedua hal itu tidak dijelaskan secara rinci,
hanya disebutkan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah bersifat penilaian bebas.
d.
Buku
kedua juga banyak menyinggung mnegenai teori post-positivis yang kemudian
dielaborasikan dengan pemikiran-pemikiran yang terkait dengan post-modernisme
(seperti feminisme dan konstruktivisme). Sedangkan pada buku pertama,
pembahasannya terfokus pada post-modernisme saja tanpa mengelaborasikan dengan
teori lainnya yang serumpun.
e.
Perbedaan
selanjutnya adalah buku kedua pada awalnya lebih memfokuskan pada pembahasan
sejarah mengenai terbentuknya post-modernisme namun tidak secara detail
dibahas, sedangkan pada buku pertama sejarah terbentuknya post-modernisme tidak
terlalu diangkat, namun lebih ke arah perkembangan pemikiran post-modernisme
itu sendiri.
f.
Perbedaan
yang terakhir adalah dari segi teknik penulisan, pada buku pertama penulis
menyertakan konklusi dari pembahasan mengenai post-modernisme tersebut sehingga
memudahkan pembaca untuk memahami post-modernisme secara garis besar. Namun
pada buku kedua, penulis tidak mencantumkan konklusi sehingga pembaca dipancing
untuk menyimpulkan sendiri apa itu post-modernisme dan bagaimana pemikiran
tersebut berkembang dalam studi Hubungan Internasional.
Jika baru memulai
untuk mengenal post-modernisme dan mencoba untuk mendalami mengenai
post-modernisme, saya sarankan untuk menggunakan buku pertama sebab
pembahasannya sangat merinci dan lebih mudah dipahami karena disertai dengan
beberapa contoh kasus yang dielaborasikan dengan pemikiran para teoris serta
dicantumkan konklusi sebagai gambaran umum post-modernisme. Sedangkan buku
kedua saya rekomendasikan untuk bahan bacaan atau pembanding saja, sebab di
dalamnya penjelasan mengenai post-modernisme belum terlalu rinci dan tidak
terlalu banyak disertai dengan contoh kasus serta tidak adanya konklusi dari
penulis yang akan menyulitkan pembaca pemula dalam memahami post-modernisme itu
sendiri.
KESIMPULAN
Post-modernisme merupakan sebuah
pemikiran yang unik, di mana post-modernisme berusaha untuk mengkaji kembali
apa-apa saja yang dinilai kurang dari teori-teori yang ada sebelumnya, namun
tidak memberikan solusi yang konkret untuk penyelesaian pencarian kebenarannya.
Post-modernisme juga telah memberikan warna baru bagi pemikiran yang berkembang
dalam studi Hubungan Internasional.
Dengan
kekurangan dan kelebihan yang telah saya sebutkan sebelumnya, kedua buku ini
layak dijadikan sebagai referensi dalam memahami post-modernisme. Penjelasan di
dalamnya mengenai post-modernisme sudah cukup memadai, dan bahasanya pun tidak
terlalu sulit untuk dimengerti. Tapi untuk pemula, saya lebih menyarankan untuk
membaca buku pertama, sebab buku pertama memuat penjelasan yang lebih lengkap
dan lebih komprehensif dalam membantu pemahaman mengenai post-modernisme. Sedangkan
buku kedua menurut saya lebih cocok dijadikan sebagai bahan bacaan tingkat
lanjut untuk memahami perbandingan antara post-modernisme dengan teori-teori
post-positivis lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar