Sabtu, 13 Oktober 2012

REVIEW FILM : THE RECKONING, THE BATTLE FOR THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT


The Reckoning adalah sebuah film yang menceritakan perjalanan International Criminal Court (ICC) sebagai sebuah lembaga peradilan internasional dalam memperjuangkan keadilan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat, terutama kasus genosida yang terjadi di beberapa negara di dunia, seperti di Sudan Selatan (Darfur), Kongo, Kolombia, dan Uganda. Kalimat “the battle for The International Criminal Court dalam judul film ini merupakan sebuah bentuk penggambaran yang nyata mengenai pergumulan ICC dengan berbagai macam rintangan yang harus mereka hadapi dalam penyelesaian kasus genosida yang terjadi.
A.                Peran ICC Sebagai Lembaga Peradilan Internasional
“Genosida adalah sebuah kejahatan kemanusiaan dan genosida adalah sebuah tindak kriminalitas yang tidak bisa dimaafkan (genocide is a crime against humanity and genocide is the unforgivable crimes)”.[1]  Itulah kalimat yang menurut saya patut digarisbawahi. Dan mungkin saja kalimat tersebut juga yang kemudian memotivasi Luis Moreno Ocampo, Christine Chung, Fatou Bensouda, Ekkehard Withoff, Adrian Fulford, dan penegak hukum lainnya di ICC untuk terus memperjuangkan keadilan bagi para korban genosida di negara-negara tersebut.
ICC adalah sebuah lembaga peradilan internasional yang didirikan berdasarkan Statuta Roma pada tahun 1998, namun ICC baru menjalankan fungsinya secara efektif pada tahun 2002 setelah 60 negara meratifikasi Statuta Roma sekaligus menjadi negara anggota. ICC dibentuk untuk melakukan peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran berat HAM dalam lingkup internasional yang di antaranya berupa kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) dan kejahatan perang (war crime). Salah satu latar belakang pembentukan ICC adalah karena memudarnya kepercayaan para korban kasus-kasus pelanggaran berat HAM terhadap kinerja pemerintah negaranya dalam menangani kasus-kasus tersebut, sehingga dibentuknya ICC seakan menjadi oase bagi para korban dalam keputusasaan mencari penyelesaian kasus yang mereka hadapi.
Meskipun usia lembaga internasional ini terbilang ‘muda’, namun kinerja ICC cukup signifikan. Telah banyak kasus kejahatan internasional yang ditangani oleh ICC, bahkan yang sulit menemukan penyelesaian sekalipun. Hal ini tentu menjadi sebuah kabar yang menggembirakan. Namun sayangnya, ICC melalui para penegak hukumnya hanya memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di negara-negara yang meratifikasi Statuta Roma pada tahun 1998 dan hanya dapat diperkarakan apabila negara yang bersangkutan menginginkan kasus tersebut untuk dibawa ke ranah hukum.[2] Hal inilah yang kemudian menjadi masalah besar bagi ICC dalam usaha penyelesaian kasus genosida yang terjadi di Darfur, Sudan Selatan. ICC seakan diuji eksistensinya dalam penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM di lingkup internasional.
B.                ICC dan Uganda
Uganda memiliki sebuah kelompok militansi bernama The Lord’s Resistance Army (LRA). LRA telah melakukan kejahatan kemanusiaan berupa genosida, selain itu LRA juga terbukti melakukan kejahatan perang dengan melibatkan penduduk sipil (non-kombatan), yaitu anak-anak dan wanita. LRA melakukan penculikan, pembunuhan, dan pembudakan seksual terhadap anak-anak dan wanita. Dalam kasus genosida ini, yang dianggap paling bertanggung jawab adalah Joseph Kony sebagai pimpinan LRA dan Vincent Otti.
Telah banyak usaha yang dilakukan oleh ICC dan pemerintahan Uganda sendiri untuk membicarakan mengenai perdamaian di Uganda, Namun, kebanyakan usaha tersebut menemui kebuntuan. Dalam tubuh ICC sendiri terjadi pertentangan dalam hal penyelesaian kasus ini. Pengambilan keputusan secara konsensus membuat ICC sulit mengambil langkah untuk mengintervensi Uganda. Hal ini juga diperparah dengan kurangnya dukungan internasional dalam usaha penyelesaian kasus ini, seperti sikap China, Rusia, dan Amerika Serikat yang menentang keras intervensi ICC di Uganda. Inilah yang kemudian membuat Luis Moreno Ocampo sebagai Jaksa di ICC harus memutar otak untuk mencari penyelesaian terbaik untuk kasus ini.
Dalam usaha penyelesaian kasus ini, muncul pertentangan dari LRA. LRA menganggap bahwa ICC menghalangi proses damai yang terjadi di Uganda karena tuntutan memperkarakan kasus genosida tersebut. LRA kemudian mencari siasat dengan meminta maaf kepada masyarakat Uganda dan berusaha meyakinkan masyarakat Uganda untuk tidak mempermasalahkan lagi kasus tersebut dan menolak untuk memperkarakan kasus tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh ICC.
C.                ICC dan Amerika Serikat
Meskipun tidak mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat, Christine Chung sebagai Jaksa Penuntut Senior di ICC tetap yakin dan optimis bahwa ICC bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak akan pernah ada satu negara pun yang bisa menghalangi ICC dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga peradilan internasional. Terlihat di sini bagaimana ICC berusaha mematahkan stigma bahwa lembaga internasional yang ada tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan dari negara adikuasa, Amerika Serikat.
D.                ICC dan Kongo
Konflik dan kasus genosida yang terjadi di Kongo merupakan kasus yang sangat sulit untuk diintervensi oleh ICC dalam hal usaha penyelesaiannya, sebab dalam kasus ini banyak tokoh yang berperan dan memiliki situasi yang lebih rumit dibandingkan dengan kasus yang terjadi di Uganda. Awal mula konflik yang kemudian berujung pada genosida ini adalah saat Thomas Lubanga Dylo membentuk sebuah pasukan milisi di daerah Itiri. Kejahatan yang telah dilakukan oleh kelompok milisi ini adalah dengan melibatkan anak-anak sebagai tentara, penculikan dan pembunuhan anak-anak dan wanita, serta pembudakan seksual. David Alicana, seorang aktivis HAM mengatakan bahwa kasus yang terjadi di Kongo merupakan sebuah kejahatan yang sangat serius, oleh karena itu ICC harus menangkap Thomas Lubanga Dylo sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas semua ini.
Keinginan David Alicana pun kemudian diamini oleh ICC. Pada tahun 2006, ICC berhasil menahan Thomas Lubangan Dylo atas tuduhan pemberlakuan wajib militer secara paksa dan penggunaan tentara anak. Ini merupakan sebuah keberhasilan yang dicapai oleh ICC sekaligus membuktikan eksistensinya sebagai sebuah lembaga peradilan internasional.
E.                ICC dan Kolombia
Kasus kejahatan internasional yang terjadi di Kolombia tidak kalah rumitnya. Menurut Ocampo, kasus kejahatan internasional yang terjadi di Kolombia cukup rumit karena melibatkan orang-orang penting di negara tersebut. Inilah yang kemudian membuat ICC cukup kesulitan untuk mengusut kasus yang terjadi di sana. Ada dua kelompok yang melakukan kejahatan internasional di Kolombia, yaitu Facs Guirellas dan Paramiliteria. Kelompok Paramiliteria memiliki hubungan erat dengan sekitar 30 orang senator Kolombia, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan tindak kriminalitas. Masyarakat Kolombia dibantu oleh beberapa NGO mendesak ICC untuk melakukan investigasi dan mencari penyelesaian kasus tersebut. Namun di sisi lain, pemerintah Kolombia tidak ingin aib negaranya diusut oleh ICC. Sehingga terjadi kontradiksi antara pemerintah Kolombia dengan masyarakat Kolombia sendiri.
F.                 ICC dan Darfur, Sudan Selatan
Kasus Darfur terbilang cukup unik dan sedikit rumit. ICC menemui kesulitan dalam mengungkap kasus genosida yang terjadi di Darfur, sebab Sudan bukan merupakan negara anggota ICC (bukan negara yang meratifikasi Statuta Roma). Satu-satunya cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan kasus genosida tersebut adalah dengan memperkarakannya melalui Dewan Keamanan PBB. ICC pun akhirnya melewati Sidang Dewan Keamanan PBB untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. ICC terus berusaha untuk mengumpulkan bukti dan data yang dibutuhkan untuk pengajuan perkara. Mereka yang dianggap paling bertanggung jawab atas kasus ini adalah Ahmad Harun, Ali Kushayb, dan kelompok Janjaweed.
Konflik yang terjadi di Darfur merupakan konflik yang terjadi antara etnis Arab yang menamakan diri mereka kaum Janjaweed dengan etnis Afrika yang sebagian besar tinggal di Darfur. Cerita mengenai konflik ini lebih lengkap bisa ditemukan dalam film “Darfur Now”. Terjadi pertentangan antara Ocampo dengan Duta Besar Sudan untuk PBB. Duta Besar Sudan untuk PBB mengatakan bahwa Ocampo hanya menyampaikan omong kosong belaka. Ocampo tidak tinggal diam, ia terus memperjuangkan penyelesaian kasus ini. Dalam kesempatan Sidang Dewan Keamanan PBB, Ocampo menyampaikan dengan sangat tegas bahwa diam bukanlah suatu sikap yang bijak dan juga merupakan suatu tindakan kriminal. Diam justru akan membuat para korban semakin sengsara dan membuat para pelaku semakin merasa bebas.
G.               Kesimpulan
Film ini menceritakan bagaimana usaha keras ICC untuk menegakkan keadilan di berbagai negara atas terjadinya kasus pelanggaran HAM berat. Masih merupakan sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi ICC untuk menemukan jalan keluar terbaik bagi beberapa kasus tersebut yang masih menemui kebuntuan dalam penyelesaiannya dan kemudian menangkap mereka yang dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya kasus-kasus tersebut. Peran pemerintah negara-negara yang bersangkutan juga sangat penting dalam usaha penyelesaian kasus-kasus tersebut. Dukungan internasional juga sangat diperlukan agar tercipta iklim keamanan yang lebih kondusif dan perdamaian dunia bisa diwujudkan dengan tidak adanya lagi kejahatan internasional yang terjadi.


[1] Kutipan dari film “The Reckoning”
[2] Adaptasi pernyataan Christine Chung, Jaksa Penuntut Senior ICC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar