The
Reckoning adalah sebuah film yang menceritakan
perjalanan International Criminal Court
(ICC) sebagai sebuah lembaga peradilan internasional dalam memperjuangkan
keadilan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat, terutama
kasus genosida yang terjadi di beberapa negara di dunia, seperti di Sudan
Selatan (Darfur), Kongo, Kolombia, dan Uganda. Kalimat “the battle for The International Criminal Court” dalam judul film ini merupakan sebuah bentuk
penggambaran yang nyata mengenai pergumulan ICC dengan berbagai macam rintangan
yang harus mereka hadapi dalam penyelesaian kasus genosida yang terjadi.
A.
Peran
ICC Sebagai Lembaga Peradilan Internasional
“Genosida
adalah sebuah kejahatan kemanusiaan dan genosida adalah sebuah tindak
kriminalitas yang tidak bisa dimaafkan (genocide
is a crime against humanity and genocide is the unforgivable crimes)”.[1] Itulah kalimat yang menurut saya patut
digarisbawahi. Dan mungkin saja kalimat tersebut juga yang kemudian memotivasi Luis
Moreno Ocampo, Christine Chung, Fatou Bensouda, Ekkehard Withoff, Adrian
Fulford, dan penegak hukum lainnya di ICC untuk terus memperjuangkan keadilan
bagi para korban genosida di negara-negara tersebut.
ICC
adalah sebuah lembaga peradilan internasional yang didirikan berdasarkan
Statuta Roma pada tahun 1998, namun ICC baru menjalankan fungsinya secara
efektif pada tahun 2002 setelah 60 negara meratifikasi Statuta Roma sekaligus
menjadi negara anggota. ICC dibentuk untuk melakukan peradilan terhadap
kasus-kasus pelanggaran berat HAM dalam lingkup internasional yang di antaranya
berupa kejahatan kemanusiaan (crime
against humanity) dan kejahatan perang (war
crime). Salah satu latar belakang pembentukan ICC adalah karena memudarnya
kepercayaan para korban kasus-kasus pelanggaran berat HAM terhadap kinerja
pemerintah negaranya dalam menangani kasus-kasus tersebut, sehingga dibentuknya
ICC seakan menjadi oase bagi para korban dalam keputusasaan mencari
penyelesaian kasus yang mereka hadapi.
Meskipun
usia lembaga internasional ini terbilang ‘muda’, namun kinerja ICC cukup
signifikan. Telah banyak kasus kejahatan internasional yang ditangani oleh ICC,
bahkan yang sulit menemukan penyelesaian sekalipun. Hal ini tentu menjadi
sebuah kabar yang menggembirakan. Namun sayangnya, ICC melalui para penegak
hukumnya hanya memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus pelanggaran berat
HAM yang terjadi di negara-negara yang meratifikasi Statuta Roma pada tahun
1998 dan hanya dapat diperkarakan apabila negara yang bersangkutan menginginkan
kasus tersebut untuk dibawa ke ranah hukum.[2] Hal
inilah yang kemudian menjadi masalah besar bagi ICC dalam usaha penyelesaian
kasus genosida yang terjadi di Darfur, Sudan Selatan. ICC seakan diuji
eksistensinya dalam penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM di lingkup
internasional.
B.
ICC
dan Uganda
Uganda
memiliki sebuah kelompok militansi bernama The
Lord’s Resistance Army (LRA). LRA telah melakukan kejahatan kemanusiaan
berupa genosida, selain itu LRA juga terbukti melakukan kejahatan perang dengan
melibatkan penduduk sipil (non-kombatan), yaitu anak-anak dan wanita. LRA
melakukan penculikan, pembunuhan, dan pembudakan seksual terhadap anak-anak dan
wanita. Dalam kasus genosida ini, yang dianggap paling bertanggung jawab adalah
Joseph Kony sebagai pimpinan LRA dan Vincent Otti.
Telah
banyak usaha yang dilakukan oleh ICC dan pemerintahan Uganda sendiri untuk
membicarakan mengenai perdamaian di Uganda, Namun, kebanyakan usaha tersebut
menemui kebuntuan. Dalam tubuh ICC sendiri terjadi pertentangan dalam hal
penyelesaian kasus ini. Pengambilan keputusan secara konsensus membuat ICC
sulit mengambil langkah untuk mengintervensi Uganda. Hal ini juga diperparah
dengan kurangnya dukungan internasional dalam usaha penyelesaian kasus ini,
seperti sikap China, Rusia, dan Amerika Serikat yang menentang keras intervensi
ICC di Uganda. Inilah yang kemudian membuat Luis Moreno Ocampo sebagai Jaksa di
ICC harus memutar otak untuk mencari penyelesaian terbaik untuk kasus ini.
Dalam
usaha penyelesaian kasus ini, muncul pertentangan dari LRA. LRA menganggap
bahwa ICC menghalangi proses damai yang terjadi di Uganda karena tuntutan
memperkarakan kasus genosida tersebut. LRA kemudian mencari siasat dengan
meminta maaf kepada masyarakat Uganda dan berusaha meyakinkan masyarakat Uganda
untuk tidak mempermasalahkan lagi kasus tersebut dan menolak untuk
memperkarakan kasus tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan apa yang
diinginkan oleh ICC.
C.
ICC
dan Amerika Serikat
Meskipun
tidak mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat, Christine Chung sebagai Jaksa
Penuntut Senior di ICC tetap yakin dan optimis bahwa ICC bisa menjalankan
tugasnya dengan baik dan tidak akan pernah ada satu negara pun yang bisa
menghalangi ICC dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga peradilan
internasional. Terlihat di sini bagaimana ICC berusaha mematahkan stigma bahwa
lembaga internasional yang ada tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan dari
negara adikuasa, Amerika Serikat.
D.
ICC
dan Kongo
Konflik
dan kasus genosida yang terjadi di Kongo merupakan kasus yang sangat sulit
untuk diintervensi oleh ICC dalam hal usaha penyelesaiannya, sebab dalam kasus
ini banyak tokoh yang berperan dan memiliki situasi yang lebih rumit
dibandingkan dengan kasus yang terjadi di Uganda. Awal mula konflik yang
kemudian berujung pada genosida ini adalah saat Thomas Lubanga Dylo membentuk
sebuah pasukan milisi di daerah Itiri. Kejahatan yang telah dilakukan oleh
kelompok milisi ini adalah dengan melibatkan anak-anak sebagai tentara,
penculikan dan pembunuhan anak-anak dan wanita, serta pembudakan seksual. David
Alicana, seorang aktivis HAM mengatakan bahwa kasus yang terjadi di Kongo
merupakan sebuah kejahatan yang sangat serius, oleh karena itu ICC harus
menangkap Thomas Lubanga Dylo sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas
semua ini.
Keinginan
David Alicana pun kemudian diamini oleh ICC. Pada tahun 2006, ICC berhasil
menahan Thomas Lubangan Dylo atas tuduhan pemberlakuan wajib militer secara
paksa dan penggunaan tentara anak. Ini merupakan sebuah keberhasilan yang
dicapai oleh ICC sekaligus membuktikan eksistensinya sebagai sebuah lembaga
peradilan internasional.
E.
ICC
dan Kolombia
Kasus
kejahatan internasional yang terjadi di Kolombia tidak kalah rumitnya. Menurut
Ocampo, kasus kejahatan internasional yang terjadi di Kolombia cukup rumit
karena melibatkan orang-orang penting di negara tersebut. Inilah yang kemudian
membuat ICC cukup kesulitan untuk mengusut kasus yang terjadi di sana. Ada dua
kelompok yang melakukan kejahatan internasional di Kolombia, yaitu Facs
Guirellas dan Paramiliteria. Kelompok Paramiliteria memiliki hubungan erat
dengan sekitar 30 orang senator Kolombia, sehingga memudahkan mereka untuk
melakukan tindak kriminalitas. Masyarakat Kolombia dibantu oleh beberapa NGO mendesak
ICC untuk melakukan investigasi dan mencari penyelesaian kasus tersebut. Namun
di sisi lain, pemerintah Kolombia tidak ingin aib negaranya diusut oleh ICC.
Sehingga terjadi kontradiksi antara pemerintah Kolombia dengan masyarakat
Kolombia sendiri.
F.
ICC
dan Darfur, Sudan Selatan
Kasus
Darfur terbilang cukup unik dan sedikit rumit. ICC menemui kesulitan dalam
mengungkap kasus genosida yang terjadi di Darfur, sebab Sudan bukan merupakan
negara anggota ICC (bukan negara yang meratifikasi Statuta Roma). Satu-satunya
cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan kasus genosida tersebut adalah
dengan memperkarakannya melalui Dewan Keamanan PBB. ICC pun akhirnya melewati
Sidang Dewan Keamanan PBB untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. ICC terus
berusaha untuk mengumpulkan bukti dan data yang dibutuhkan untuk pengajuan
perkara. Mereka yang dianggap paling bertanggung jawab atas kasus ini adalah
Ahmad Harun, Ali Kushayb, dan kelompok Janjaweed.
Konflik
yang terjadi di Darfur merupakan konflik yang terjadi antara etnis Arab yang
menamakan diri mereka kaum Janjaweed dengan etnis Afrika yang sebagian besar
tinggal di Darfur. Cerita mengenai konflik ini lebih lengkap bisa ditemukan
dalam film “Darfur Now”. Terjadi
pertentangan antara Ocampo dengan Duta Besar Sudan untuk PBB. Duta Besar Sudan
untuk PBB mengatakan bahwa Ocampo hanya menyampaikan omong kosong belaka.
Ocampo tidak tinggal diam, ia terus memperjuangkan penyelesaian kasus ini.
Dalam kesempatan Sidang Dewan Keamanan PBB, Ocampo menyampaikan dengan sangat
tegas bahwa diam bukanlah suatu sikap yang bijak dan juga merupakan suatu
tindakan kriminal. Diam justru akan membuat para korban semakin sengsara dan
membuat para pelaku semakin merasa bebas.
G.
Kesimpulan
Film
ini menceritakan bagaimana usaha keras ICC untuk menegakkan keadilan di
berbagai negara atas terjadinya kasus pelanggaran HAM berat. Masih merupakan
sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi ICC untuk menemukan jalan keluar terbaik
bagi beberapa kasus tersebut yang masih menemui kebuntuan dalam penyelesaiannya
dan kemudian menangkap mereka yang dianggap paling bertanggung jawab atas
terjadinya kasus-kasus tersebut. Peran pemerintah negara-negara yang
bersangkutan juga sangat penting dalam usaha penyelesaian kasus-kasus tersebut.
Dukungan internasional juga sangat diperlukan agar tercipta iklim keamanan yang
lebih kondusif dan perdamaian dunia bisa diwujudkan dengan tidak adanya lagi
kejahatan internasional yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar